Rabu, 29 Desember 2010

KORUPSI dan SOLUSINYA

Apakah sebenarnya akar penyebab korupsi? Siapa? Di mana? Dari mana? Apakah ada faktor budaya, factor keturunan, pola asuh dan pola didik keluarga, system pendidikan, ataukah faktor lingkungan? Siapa yang memulai?. Apakah aparat pelayan publik, penegak hukum (jaksa, polisi, hakim) ataukah mereka yang menyuap polisi, jaksa dan hakim? Dari mana seharusnya kita mulai memberantas wabah korupsi ini. Apakah dari atas atau dari bawah, dari aparatnya atau pelakunya, dari yang kakap atau yang teri, dari pejabat atau rakyatnya? Bagaimana mulai membangun dan membentuk generasi yang bebas korupsi di masa yang akan datang? Bagaimana kita akan membentuk pribadi-pribadi yang jujur, bersih, punya integritas, disiplin dan anti korupsi? Jika kita sudah tahu, akar penyebab korupsi, mudah-mudahan kita bisa melakukan langkah-langkah penanggulangan atau paling tidak pencegahan. Mungkin kita bisa memulai dari diri-sendiri, keluarga dan lingkungan di sekitar kita. Mari kita bangun generasi masa depan yang jujur, bersih dan bebas korupsi!.
Betapa terperanjatnya kita saat Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa korupsi di Peradilan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, sementara berdasarkan Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dari 1.400 usahawan asing terhadap 13 negara Asia menunjukkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang paling korupsi dalam aktivitas ekonominya setelah Filipina dan Thailand. Penggalan-penggalan pertanyaan di awal alinea tulisan ini tentulah menggelitik hati kita untuk menjawabnya, karena masalah korupsi kini telah mengurangi kebanggaan Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keanekaragaman suku, agama, budaya dan keindahan alam serta cerita sejarah dengan berbagai prestasi yang telah ditoreh di waktu lalu. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja.

Pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.
Kedua, korupsi yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah yang biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Misalnya adalah proses perizinan yang berbelit-belit atau banyaknya pungutan liar pada bidang-bidang pelayanan public.
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus berarti busuk, palsu, suap (Kamus Bahasa Indonesia 1991); atau dalam Kamus Hukum 2002 berarti buruk, rusak, suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Adapun berdasarkan pemahaman pasal 2 UU No. 31 thn 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 thn 2001, Korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan / perekonomian negara. Sementara Transparency International menerjemahkan korupsi sebagai bentuk perilaku atau tingkah laku dari pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri sipil yang dilakukan secara tidak wajar atau illegal dengan tujuan untuk memperkaya diri atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Di atas telah disebutkan bahwa korupsi dapat merusak struktur pemerintahan dan menghambat pembangunan karena dampak yang ditimbulkan adalah terganggunya :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan social.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan, kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Yang mana secara umum akan merugikan negara dan merusak sendi sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional sehingga berdampak pada menurunkan kesejahteraan penduduk.
 
PENYEBAB KORUPSI
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsipun terjadi di berbagai negara tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Seperti di negara Amerika Serikat maupun Singapura masih ada ditemukan praktek-praktek korupsi walaupun dalam skala yang sangat kecil. Oleh karena itu, timbullah pertanyaan apakah penyebab terjadinya korupsi? Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara Merican (1971) menyatakan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah; peninggalan pemerintahan colonial, disparitas kemiskinan dan ketidaksamaan, gaji yang rendah, pengaturan yang bertele-tele dan pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada konvensi nasional media massa dalam rangka kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) dan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) VIII 2005 di Pekanbaru, mengakui ada empat faktor dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni; faktor penegakan hukum yang masih lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah dan political will. Apabila kita menyimak melalui pemberitaan di media, orang sering menyebutkan korupsi itu budaya. Pertanyaannya, apakah betul penyebab terjadinya korupsi itu adalah karena sudah menjadi budaya? Di India misalnya, menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan. Sedangkan menurut kebudayaannya, orang Nigeria tidak dapat menolak suapan dan korupsi kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya. Padahal, apabila kita lihat defenisi secara harafiah, budaya adalah sekumpulan nilai, norma, aturan, maupun tata cara yang merupakan pedoman bagi masyarakat. Dan di dalam hampir semua kebudayaan, korupsi dianggap sebagai perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindakan kriminal. artinya, korupsi itu bukanlah bagian dari sebuah unsur kebudayaan, tetapi dari tinjauan sejarah, ditemukan bahwa korupsi dapat menghancurkan sebuah kebudayaan. Selanjutnya, kata sebagian orang kemiskinan adalah akar dari masalah korupsi. Namun hal ini bukanlah satu-satunya penyebab, karena faktanya banyak negara-negara kaya dan makmur juga penuh dengan skandal korupsi yang ternyata sedikit sekali melibatkan orang dari kelompok miskin atau kekurangan. Sebagai ilustrasi dapat kita lihat bahwa banyak para koruptor yang memiliki simpanan di luar negeri dalam jumlah miliaran. Artinya, tidak satupun dari mereka yang miskin, namun dengan menguras harta negara, baik melalui pengambilan keputusan mengenai anggaran yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keuntungan pribadi dan adanya uang sogok yang luar biasa besarnya, akan membawa dampak buruk pada pembangunan. Dan kondisi ini jelas akan menambah parah kemiskinan rakyat. Oleh karena itu, korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi sebaliknya, justru kemiskinan disebabkan oleh korupsi. Gaji yang rendah dan berada di bawah nilai untuk bertahan hidup, juga dikatakan sebagai inti permasalahan korupsi. Karena pada umumnya tekanan-tekanan yang dirasakan oleh pegawai negeri untuk menyalah gunakan kedudukannya akan jauh lebih besar jika ia hidup dekat atau dibawah garis kemiskinan. Namun, bukti-bukti yang ada tidak terlalu meyakinkan apakah dengan menaikkan gaji di sector pelayanan public akan dapat mengurangi masalah korupsi. Kenyataan yang terlihat, bahwa mereka yang memiliki kekayaan yang jauh melebihi kebutuhan hidupnya atau keluarganya, tetap saja melakukan penyelewengan.
Di sisi lain, Negarapun dapat menjadi penyebab korupsi terutama bila tidak membayar biaya-biaya yang harus dikeluarkannya. Situasi ini dapat terlihat misalnya pada universitas-universitas maupun sekolah yang terpaksa membebani siswanya dengan pungutan liar ataupun dengan tidak memberikan hak-hak tertentu sebagai program bantuan kepada mahasiswa / siswa yang kurang mampu karena alasan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi mobilitas universitas / sekolah. Terakhir, korupsi juga dapat disebabkan karena adanya Penyelenggara negara yang tidak menyadari perannya sebagai pelayan masyarakat tetapi lebih menganggap dirinya sebagai penguasa. Kewenangan yang ada padanyapun sering dinodai dengan mengutamakan budaya kekeluargaan (paternalistic) yang mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan public, karena menimbulkan kecenderungan untuk memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat yang bersangkutan (Wahyudi Kumorotomo,2005)
 
SOLUSI PEMECAHAN
Dalam konsep modern, korupsi didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara bagi pelayanan kepentingan umum atau pemakaian dana pemerintah untuk kepentingan pribadi atau perorangan, termasuk pula didalamnya praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Walau pada prakteknya, perbuatan korupsi seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara. Korupsi juga dimulai dengan semakin mendesaknya usahausaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relatif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Dan kondisi ini akan memperlambat jalannya pembangunan Nasional karena keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi public.
Memberantas korupsi bukanlah tujuan akhir, tapi untuk mencapai tujuan terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, adil dan efisien. Hal inipun sudah menjadi perhatian serius para pimpinan negara ini terbukti dengan ditetapkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Lalu berdasarkan UU tersebut disahkan pula UU No. 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian dalam pasal 53 disebutkan tentang adanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 memberikan waktu tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor) Memang, korupsi sudah ada sejak manusia ada dan oleh karena itu tidaklah mungkin menghilangkan korupsi sampai ke akar-akarnya. Namun, langkah yang dirasa cukup relevan adalah dengan membatasi praktik-praktik korupsi sampai ke tingkat yang dapat diterima karena akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu, diperlukan komitmen dan kesungguhan untuk menyelesaikan masalah korupsi yang terjadi dan mencari upaya yang efektif dalam pemecahannya. Berikut, penulis mencoba ajukan beberapa solusi yang dirangkum dari berbagai sumber, sebagai bahan pemikiran untuk mengambil langkah-langkah preventif maupun represif.
a. Perbaikan System:
- Perbaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal karet yang digunakan koruptor untuk melepaskan diri.
- Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan sebab “Power Tends to Corrupt”.
- Perbaikan cara kerja pemerintahan menjadi simple dan efisien (Reformasi Birokrasi).
- Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikian pribadi serta memberikan aturan yang tegas dalam penggunaan fasilitas negara baik untuk kepentingan umum maupun pribadi.
- Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara tegas.
- Penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
- Mengoptimalkan pemanfatan IT guna memperkecil Human Error.
b. Perbaikan Sumber Daya Manusia:
- Memperbaiki moral manusia melalui pendekatan agama dan menyatakan dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela serta mengajak masyarakat untuk menjauhi perbuatan korupsi dan menumbuhkan keberanian untuk melawan korupsi.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kehormatan pejabat dan pegawai bukanlah karena mereka kaya dan melimpah tapi karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan Negara.
- Menumbuhkan “Sense of Belongingness” di kalangan pejabat dan pegawai atas instansi / perusahaan tempatnya bekerja dan tidak perlu melakukan korupsi namun selalu berusaha “Doing The Best”.
- Meningkatkan kesadaran hukum dengan sosialisasi dan pendidikan anti korupsi.
- Mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan.
- Memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang memiliki kepedulian, cepat tanggap serta dapat menjadi tauladan.
c. Mengusahakan perbaikan gaji sebagai paket tindakan menyeluruh dalam rangka reformasi birokrasi pemerintahan, yang tidak hanya menaikkan gaji yang cukup dan insentif yang menarik tetapi juga Menerapkan syarat kemampuan dalam mengangkat dan menaikkan pangkat pegawai negeri, mengganti pegawai yang korup dan mengadakan pelatihan yang tepat agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terpengaruh oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenang.
d. Menegakkan hukum dengan lebih tegas secara menyeluruh (tidak dalam isolasi tertentu) guna menimbulkan efek jera. Senada dengan pendapat Marmosudjono (Kompas, 1989) dalam menanggulangi korupsi, diperlukan juga sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan cara menayangkan wajah para koruptor di televisi sambil mengenakan pakaian khusus.
e. Melakukan Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat. dikutip dari: http://tunggalpanaluan94.com/index.php/kolom-tp/55-kolomtp-korupsi

Selasa, 28 Desember 2010

Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.
Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit Kapitalisme. Sebab memang sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan itulah yang terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %, diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk[2].
Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak segera berpaling pada Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Bagaimana Islam mengatasi masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk menguraikannya.

Pandangan Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt.. berfirman:
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ[
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]: 268)
Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, sangat consen terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa[3].
Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa kriteria Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin, dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok (primer) bagi setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-halaq [65]: 6).
Rasulullah saw. bersabda:
Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian. (HR. Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara keseluruhan. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori sebagai orang miskin.
Pangan, sandang, dan papan yang dimaksud di sini, tidak berarti sekadar apa adanya, melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya. Kebutuhan pangan, misalnya, juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan dapur; kayu bakar, minyak tanah, atau gas; rak piring, lemari makan, meja makan, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan pakaian adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak, minyak rambut, lemari pakaian, cermin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat, seperti, meja, kursi, karpet, korden, dan lain-lain.[4] Demikianlah tolok ukur kemiskinan menurus Islam. Dari sini tampak bagaimana Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup secara layak sebagai manusia.
Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat lainnya, atau di satu negeri dangan negeri lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun tercukupi pangan, sandang dan papannya). Sementara di Indonesia, orang semacam ini tidak dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab, Syariat Islam diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Sehingga tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di suatu negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah rakyatnya dari berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.
Lebih dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan pokok sebenarnya bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk kebutuhan pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat, melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara. Dalam membahas kemiskinan, ketiga hal ini tidak dimasukan dalam perhitungan, karena memang bukan tanggungjawab individu.
Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah saw. bersabda:
Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya[5]
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[6]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah)
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.[7]
c. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt.. berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah saw. juga bersabda:
Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)
Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar)
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
2. Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai merikut.
a. Jenis-jenis Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
· Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.
Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
· Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap[8], misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[9], misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
· Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
b. Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).
Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
c. Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.
3. Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah saw.:
Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:
Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.
4. Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, onovatif, dan produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu meberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”.[10] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah[11] yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.[12]
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”[13] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.[14]
Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
Khatimah
Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124) dikutip dari: http://politisimuslim.wordpress.com/2007/04/21/solusi-islam-dalam-masalah-kemiskinan/

UNTUK ORANG TUA!!! MASALAH DAN SOLUSI REMAJA DISEKOLAH

Sudah cukup lama dirasakan adanya ketidakseimbangan antara perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah menegah (SLTP/ SLTA). Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah dibanjiri berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media massa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah tampak dewasa, tetapi mempuyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi remaja yang demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu. dikutip dari: http://yudykartolo.wordpress.com/2008/02/11/masalah-dan-solusi-remaja-disekolah/
Masalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku. Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah.
  1. Perilaku Bermasalah (problem behavior). Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
  2. Perilaku menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
  3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
  4. Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang akan merugikan orang lain.
  5. Attention Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh remaja sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak.
Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.
Keempat, bagaimana lembaga pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak.
Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Kelima, bagaimana pengaruh tayangan media massa baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan.
Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja, gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan jelas.
Apa Jalan Keluar Kita?
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan usia remaja, usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa hal kunci yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam hati sanubari para remaja tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus.
Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati.
Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna. “Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di sekolah dan di masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya.
Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang sebenarnya.
Sixtus Tanje : Konselor di SLTP St. Kristoforus II Alamat: Taman Palem Lestari, Blok A No. 18, Cengkareng, Jakarta Barat.
MEMAHAMI DIRI Materi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Who am I (siapakah saya)? Untuk menjawab pertanyaan ini maka sangat dibutuhkan adanya refleksi yang mendalam, kontemplasi diri yang total, dan definisi yang obyektif. Saya hanyalah pesiarah yang mencari kesempurnaan hidup Kesiarahan saya masih sangat jauh. Relung-relung idealisme dan lentingan-lentingan kenyataan, masih terus menghantui perjalanan hidup saya. entah kapan kehausan akan kesempurnaan itu saya nikmati. Bisingnya dunia dan garangnya bumi, meliluhlantahkan kehausan tersebut. Ternyata saya terus menikmatinya, walau aku selalu bertanya” apa yang harus saya cari” Mungkin pesiarahan itu akan berakhir pada saat saya mendesah. Entahlah, lalu, siapakah manusia it? Siapakan saya? siapakah engkau? Aku adalah diriku sendiri Aku hidup dan bernafas Aku berpikir dan merasa Aku mencinta dan merasa takut Aku berharap dan benilai Aku bertumbuh dan berubah Aku lama kelamaan menjadi A K U. Diri kita adalah samudra penuh rahasia Yang manti untuk dijelajahi Kita adalah makhluk hidup yang unik Yang merenungkan asal-usul kita Dan berikhtiar merencanakan masa depan . dst
Dalam hidup ini, kita akan selalu menghadapi permasalahan yang silih berganti.Masalah yang satu selesai kemudian akan datang masalah lain. Begitulah hidup ini karena memang kita hidup untuk diuji sehingga jangan sampai kita bermimpi untuk hidup tanpa masalah. Yang penting adalah bagaimana kita mempunyai metode untuk menghadapi masalah yang ada.

Pada dasarnya masalah yang kita hadapi dapat dikelompokkan menjadi 3:
  1. Masalah yang solusinya tidak ada kecuali menerima kondisi yang ada dengan sabar dan lapang dada. Contohnya adalah seorang yang menikah kemudian dia mempunyai anak yang cacat. Hal ini tentu menjadi masalah baginya. Bagaimana menghadapi kondisi seperti ini? Solusi adalah kita menerima kehadiran sang anak kita apa adanya dan membesarkan dan mendidiknya dengan baik.
  2. Masalah yang terjadi karena kita belum mempunyai ilmu untuk menghadapi kondisi yang serupa.Contohnya dulu ketika aku lulus kuliah menghadapi permasalahan bagaimana mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Masalahnya apa yang kuinginkan ternyata tidak selalu ada atau bersebrangan dengan apa yang ada. Misalnya dulu aku ingin bekerja di bagian keuangan tetapi ternyata justru panggilan interview yang banyak datang adalah untuk posisi sales dan marketing yang akhirnya menjadi takdir atau jalan hidupku sekarang. Dari pengalamanku tersebut mengajarkan bahwa pilihan apa yang harus diambil adalah pilihan dari apa yang ada bukan apa yang diinginkan tetapi belum tentu ada.
  3. Masalah yang terjadi karena kelemahan atau kekurangan kita. Solusinya adalah  mengatasi kelemahan kita dengan cara meningkatkan kualitas diri.Menurut imam Alghazali ada cara untuk mengetahui cacat atau kelemahan diri kita. Pertama lewat seorang guru/pembimbing rohani. Oleh karena itu usahakan agar kita mempunyai seorang ulama yang kita dengar nasehatnya untuk membimbing kita. Kedua lewat teman atau rekan sejawat yang jujur. Di kantor kita pasti bergaul dengan semua orang.Tetapi usahakan kita mempunyai teman akrab orang-orang yang jujur. Ini penting sehingga bila kita di kantor menghadapi persoalan kita bisa sharing dengan teman kita tadi.Yang ketiga adalah lewat musuh atau orang yang bersebrangan dengan kita.Di kantor atau dalam kehidupan bermasyarakat kita akan selalu ada 2 golongan orang, golongan orang yang sependapat dengan kita dan golongan yang bersebrangan dengan kita. Walaupun secara umum orang akan membenci golongan yang bersebrangan tetapi sebenarnya pendapat merekapun belum tentu salah setidaknya kita bisa mengaca lewat mereka untuk mengatasi kelemahan kita. Rosullullah sendiri mengajarkan agar bila kita suka atau membenci sesuatu secara wajar wajar saja mungkin suatu saat teman yang kita benci suatu saat justru menjadi pendukung kita dan juga sebaliknya. wallahu allam. dikutip dari: http://diskusi-tasawuf.blogspot.com/2010/09/masalah-dalam-hidup-dan-solusinya.html